Strategi Pendekatan Risiko

Ada pepatah yang mengatakan bahwa “sedia payung sebelum hujan”. Pepatah tersebut menjadi salah satu penguat dalam pergeseran paradigma sakit menjadi paradigma sehat. Peralihan paradigma ini berorientasi pada sehat yang berawal dari individu dan masyarakat yang sehat dan menjaganya agar tetap sehat. Definisi sehat menurut WHO adalah suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit (morbiditas), dan kecatatan, tapi juga bisa produktif. Paradigma sakit memiliki konsep reaktif responsif dimana penanganan pada saat sakit yang bila terlambat, akan menyebabkan berbagai kerugian. Paradigma sehat menggunakan pendekatan pencegahan proaktif dan antisipatif untuk menurunkan kerugian yang dinamakan 5K yaitu kematian, kesakitan, kecacatan, ketidakpuasan, dan ketidaknyamanan.

Strategi Pendekatan Risiko dicanangkan WHO tahun 1978. Konsep potensi risiko yaitu semua ibu hamil menghadapi risiko. Setiap ibu hamil berisiko komplikasi dalam persalinan. Tujuan umum dari SPR ini adalah menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Tujuan khususnya yaitu melakukan pengenalan dini faktor risiko ibu hamil, melakukan KIE, dan meningkatkan pemanfaatan fasilitas kesehatan. Hal tersebut ditunjang dengan sistem rujukan paripurna  terpadu di kabupaten/kota.

Strategi pendekatan risiko untuk ibu hamil merupakan suatu metode untuk menyelamatkan ibu dan janin/bayi baru lahir:

1. mengerahkan, memanfaatkan secara optimal sumber daya kesehatan dan non kesehatan yang ada, penanganan yang efektif, sehingga hasilnya efektif, rasional, dan relevan.

2. melakukan pencegahan pro-aktif antisipatif

3. melakukan KIE agar persalinan aman dan rujukan dengan penilaian dan pertimbangan klien dan fasilitas kesehatan (SWOT)

4. memberi penanganan adekuat yaitu persalinan normal, TpVg, OS

 

Faktor Risiko

Faktor risiko meliputi karakteristik dan kondisi pada ibu hamil dan janin:

demografi : umur, paritas, tinggi badan

biologi: medik (penyakit ibu), obstetrik (gemelli, kel.Letak, pendarahan ap, dll)

lingkungan: geografik, akses rujukan, sosial budaya, pendidikan, perilaku, sosial ekonomi, dan biaya.

 

Sedimentasi

Dalam proses pengolahan air minum, memiliki banyak tahapan  proses , diantaranya proses sedimentasi, koagulasi, filtrasi dll. Tetapi disini kelompok kami akan membahas tentang proses sedimentasi, dimana proses ini adalah proses pertama yang dilakukan dalam pengolahan air minum. Proses sedimentasi ini sebelumnya didahului oleh proses pra sedimentasi, yaitu : proses ditempatkannya air baku  yang karakteristik turbiditasnya tinggi dalam bak penampungan untuk mengendapkan partikel-partikel diskrit, seperti pasir dll.

Sedimentasi dilakukan setelah proses Koagulasi dan Flokulasi dimana tujuannya adalah untuk memperbesar partikel padatan sehingga menjadi lebih berat dan dapat tenggelam dalam waktu lebih singkat. Sedimentasi bisa dilakukan pada awal maupun pada akhir dari unit sistim pengolahan. Jika kekeruhan dari influent tinggi,sebaiknya dilakukan proses sedimentasi awal (primary sedimentation) didahului dengan koagulasi dan flokulasi, dengan demikian akan mengurangi beban pada treatment berikutnya. Sedangkan secondary sedimentation yang terletak pada akhir treatment gunanya untuk memisahkan dan mengumpulkan lumpur dari proses sebelumnya (activated sludge, OD, dlsb) dimana lumpur yang terkumpul tersebut dipompakan keunit pengolahan lumpur tersendiri, proses ini dilakukan setelah air dan pengotor terpisah

Proses sedimentasi  adalah  salah satu  proses yang mempunyai peranan penting dalam pengolahan air baku menjadi air bersih yang layak dialirkan ke rumah masyarakat karena proses ini dapat membuat partikel besar  mengendap didasar bak karena gaya grafitasi dan membuat air limbah telah bebas partikel besar pada proses berikutnya.

Sedimentasi adalah pemisahan padatan dan cairan (solid-liquid) dengan menggunakan gaya gravitasi untuk mengendapkan partikel suspensi, baik dalam pengolahan air bersih (IPAM), maupun dalam pengolahan air limbah (IPAL).

Proses sedimentasi berfungsi untuk:

  1. memisahkan partikel utuh  (discreet) seperti pasir dan juga untuk memisahkan  padatan melayang (suspensi) yang sudah menggumpal.
  2. Mengurangi beban kerja unit filtrasi dan memperpanjang umur pemakaian unit penyaring selanjutnya
  3. Mengurangi biaya operasi instalasi pengolahan.

Ada empat kelas atau jenis pengendapan partikel  secara umum yang didasarkan pada konsentrasi dari  partikel  yang saling berhubungan. Kriteria ini secara langsung mempengaruhi konstruksi dan disain sedimentasi. Empat jenis Pengendapan tersebut adalah masing-masing  terjadi pada pengolahan air bersih, antara lain:

1. Discrete settling (Pengendapan partikel mandiri) / plain settling

adalah pengendapan yang memerlukan   konsentrasi suspended solid yang paling rendah, sehingga analisisnya  menjadi yang paling sederhana. Di dalam Discrete settling, partikel  secara  individu mengendap dengan bebas dan tidak mengganggu atau tidak mencampuri pengendapan dari partikel lainnya. Contoh aplikasi dari Discrete settling adalah grit chambers.

2. Flocculant settling (Pengendapan partikel floc). Pada flocculant settling inilah konsentrasi partikel cukup tinggi terjadi pada  penggumpalan (agglomeration). Peningkatan rata-rata massa partikel ini menyebabkan partikel  karam lebih cepat. Flocculant settling banyak digunakan pada primary clarifier.

3. Hindred Settling (Pengendapan secara perintangan). Di dalam Hindred Settling, atau Zone Settling, konsentrasi partikel adalah tidak terlalu tinggi (cukup) kemudian partikel  bercampur dengan   partikel    lainnya dan kemudian mereka karam bersama-sama. Hindred Settling sebagian besar digunakan di dalam secondary clarifiers.

4. Compression Settling. Compression Settling (Pengendapan secara pemampatan), berada pada konsentrasi yang paling tinggi pada suspended solid dan terjadi pada jangkauan yang paling rendah dari clarifiers. Pengendapan partikel dengan cara memampatkan (compressing) massa partikel dari  bawah. Tekanan (compression) terjadi tidak hanya di dalam zone yang paling rendah dari secondary clarifiers tetapi juga di dalam tangki sludge thickening.

Alat dan Bahan Yang Digunakan Pada Sedimentasi Pengolahan Air Minum

Alat: 1. Bak

2. Tangki umpan (Homogenezing tank) .

3. Tangki rerata (Equalizing tank) .

4. Tangki pengendap (Settling tank) .

Alat pendukung, terdiri dari :

  1. Peralatan yang berguna menganalisis kesadahan .

2.  Piknometer .

Bahan :

  1. Powder (Ca(OH)2)
  2. Air .

Kelebihan dan Kelemahan Sedimentasi Pengolahan Air Minum

KELEBIHAN:

1. Membunuh lebih dari 50% bakteri

2. Beberapa patogen akan berada di dasar wadah sehingga bagian atas wadah merupakan bagian paling bersih dan mengandung lebih sedikit pathogen

3. Dapat membunuh organisma yang disebut cercariae, yang merupakan host perantara dalam siklus hidup bilharziasis (schistosommiasis), penyakit yang berasal dari air dan sering terdapat di beberapa Negara. Penyimpanan yang lebih lama akan semakin memperbaiki kualitas air.

 

KELEMAHAN

  1. Membutuhkan waktu yang lama yakni sekitar 48 jam
  2. Tidak dapat membunuh semua bakteri dan mikroorganisme untuk menjadi benar-benar bersih
  3. Membutuhkan lahan yang luas

 

Soal PAM

soal PAM

Soal Presipitasi

Soal untuk Presipitasi

KEKURANGAN ENERGI KRONIS (KEK) PADA IBU HAMIL DI PERKOTAAN

  1. Deskripsi Penyakit

KEK merupakan keadaan dimana remaja putri, wanita usia subur, atau ibu hamil mengalami kekurangan gizi (kalori dan protein) yang berlangsung lama atau menahun.

  1. Pemeriksaan Antropometri antara lain: pengukuran LILA(Lingkar Lengan Atas) < 23,5 cm, IMT < 18,5, kenaikan berat badan ibu kurang dari 1 kg pada trimester pertama, kurang dari 3 kg pada trimester kedua, dan kurang dari 6 kg pada trimester ketiga
  2. Pemeriksaan Klinis yaitu tampak lemah dan pucat, conjungtiva pucat, nadi lemah atau lambat, keringat dingin
  3. Pemeriksaan Laboratorium yaitu serum albumin (gr/100ml) wanita hamil <3,0 (kurang), 3,0-3,4 (criteria margin), 3,5+(cukup) dan serum protein (gr/100ml) wanita hamil 5,5 (kurang), 5,5-5,9(criteria margin), 6,0+ (cukup).
  4. Pemeriksaan Dietetik digunakan food recall 24 jam. Metode ini dapat memberikan gambaran asupan zat gizi yang lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake ibu hamil (individu). Hasil dibandingkan dengan AKG yakni 1900 kkal ditambah 180 kkal pada trimester I, 300 pada trimester II dan III.
  5. Sensitivity dan Specifity dalam penelitian ini pengukuran LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek melainkan jangka panjang (kronis) karena mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak berpengaruh banyak oleh cairan tubuh. LILA hanya sensitif untuk mereka wanita usia subur dan ibu hamil. Pengukuran LILA digunakan karena pengukurannya sangat mudahdan dapat dilakukan oleh siapa saja.
  6. Distribusi dan DeterminantPenyakit
    1. Distribusi penyakit

KEK dapat terjadi pada wanita usia subur dan ibu hamil di perkotaan yang tingkat perekonomiannya termasuk menengah ke atas namun tidak diimbangi dengan pengetahuan yang tinggi dengan makanan pokok roti, junkfood, dan beras dalam jumlah kecil terutama pada saat paceklik serta masih ada food taboo.

  1. b.     Determinant

Faktor risiko terjadinya KEK pada ibu hamil yaitu asupan energi meliputi karbohidrat,protein  dan lemak yang kurang dalam jangka waktu yang lama.

  1. Host, Agent, dan Environment
    1. a.     Host: Absorpsi protein, karbohidrat, kondisi fisiologis ibu yang sedang hamil, usia ibu hamil yang terlalu muda (<20 tahun), usia ibu hamil yang terlalu tua (>35 tahun), bumil sudah terlalu sering hamil (anak lebih dari 3 berisiko tinggi), terlalu dekat atau rapat jarak kehamilannya (kehamilan berikutnya kurang dari 2 tahun)
    2. b.     Agent :Asupan protein, karbohidrat
    3. c.     Environment:Lingkungan perkotaan yang banyak polusi, individualis, pengetahuan rendah, status perkawinan, tingkat ekonomi, kebiasaan mencuci beras sampai putih
  2. Variabel dan skala data

Variabel dependent : KEK  skala data nominal

Variabel independent : Umur ibu (Rasio), Pengetahuan ibu (Ordinal), Tingkat ekonomi (Ordinal), LILA (Rasio), Asupan protein (Rasio), Asupan karbohidrat (Rasio), Jarak antarkelahiran (Rasio).

  1.  Uji statistik yang digunakan yaitu uji regresi logistik. Untuk mengetahui pengaruh variabel independent terhadap variabel dependent yang bersifat dikotomus. Selain itu, dengan menggunakan uji regresi logistik ini akan dapat diketahui variabel independent yang paling dominan dan dapat mengetahui odd ratio terhadap kejadian KEK.
  2. Studi desain epidemiologi

Penelitian ini termasuk penelitian observasional karena peneliti tidak memberikan perlakuan apapun terhadap responden. Menurut rancang bangunnya termasuk studi epidemiologi cross sectional Karena pengamatan dan pengumpulan datanya hanya dilakukan pada satu waktu tertentu.

Higiene Tempat Kerja PKM

Menurut Kepmenkes RI No. 128/Menkes/SK/II/2004, Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Dinas Kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Upaya kesehatan wajib yang ada di puskesmas antara lain upaya promosi kesehatan, upaya kesehatan lingkungan, upaya KIA dan KB, upaya perbaikan gizi masyarakat, upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, dan upaya pengobatan.

Dewasa ini, telah banyak puskesmas yang menyediakan rawat inap bagi  pasien meskipun dalam kapasitas yang tidak terlalu besar. Perkembangan tersebut diharapkan dapat memberikan pelayanan lebih kepada masyarakat. Puskesmas sebagai penyedia layanan kesehatan dituntut menjaga lingkupnya sehingga tetap bersih dan sehat. Meski demikian, puskesmas juga memiliki potensi hazard bagi pasien maupun karyawan.

Puskesmas X memiliki gedung berbentuk persegi yang bagian tengah terdapat taman. Puskesmas ini mempunyai layanan rawat inap di sebelah selatan gedung pusat. Pelayanan lain yaitu loket, gigi, laborat, KIA, KB, kamar bersalin, dan umum. Sisa ruangan merupakan ruang tempat penyimpanan data, toilet, dan tempat pengambilan obat. Tenaga kesehatan meliputi dokter sekaligus kepala puskesmas, beberapa bidan, perawat, petugas kesehatan gigi, SKM, dan lain-lain. Jam pelayanan puskesmas mulai jam delapan pagi sampai dua belas siang.

  1. A.    Potensi Bahaya

Potensi bahaya atau hazard dibedakan antara lain hazard fisik, kimia, biologis, ergonomik, dan psikologis. Potensi hazard tersebut mempunyai kemungkinan ada di puskesmas.

a.1 Faktor Hazard Fisik

a.1.1 Penerangan di tempat kerja

Beberapa ruangan seperti loket, pengambilan obat, dan penyimpanan data menggunakan sinar matahari sebagai penerang dengan ventilasi di sebelah utara dan selatan.  Meski demikian, cahaya yang masuk tidak maksimal sehingga terlihat kurang sesuai untuk pekerjaan yang membutuhkan ketelitian baik dalam melihat tulisan di kertas apalagi komputer.

Pembahasan dan Solusi

Pekerjaan yang berganti-ganti menulis dan membaca, pekerjaan arsip dan seleksi surat harus paling sedikit mempunyai kekuatan 300 luks (Suma’mur, 2009). Modifikasi lingkungan kerja dapat diterapkan untuk memberikan penenrangan yang cukup. Meskipun pelaksanaan pekerjaan yakni pagi hingga siang, namun untuk ketiga ruangan tersebut dapat ditambah dengan lampu yang tingkat terangnya cukup.

a.2 Faktor Hazard Biologis

Faktor biologis yang merupakan potensi hazard di puskesmas antara lain, bakteri, virus, jamur, cacing/parasit, protozoa, kutu dan pinjal. Puskesmas melayani berbagai macam pasien dengan keluhan beragam yang penyebabnya juga beragam. Faktor biologi tersebut dapat keluar dari inangnya dan berada dalam lingkungan puskesmas.

Pembahasan dan Solusi

Penyakit infeksi yang menjadi penyakit akibat kerja atau penyakit yang timbul karena hubungan kerja jika penyebabnya adalah pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Menurut Suma’mur, seorang dokter dan perawat tidak mustahil tertular penyakit yang berasal dari pasien yang diobati, seperti tifes perut, difteri, gonorea, angina karena stzeptokokkus, atau efek primer penyakit sifilis.

Diantara upaya pencengahan yang dapat dilakukan yakni penyelenggaraan imunisasi dengan vaksiasi. Selain itu, kebersihan tempat pasien dan kebersihan keseluruhan puskesmas juga perlu ditingkatkan untuk meminimalkan keberadaan faktor biologis dan juga higiene perorangan.

a.3 Faktor Hazard Ergonomik

a.3.1 Ergonomi

Sebagian besar karyawan atau tenagan kesehatan di puskesmas melakukan kegiatan kerja dengan posisi duduk. Misalkan, di bagian loket, pengambilan obat, KIA, data, dan beberapa lainnya. Posisi kerja yang dijumpai tidak ergonomis antara lain:

1)      Posisi duduk punggung membungkuk, hal ini dapat mengakibatkan karyawan merasakan Low Back Pain (LBP)

2)      Posisi tangan terhadap keyboard yang terlalu meninggikan posisi pergelangan dan tangan sehingga dapat mempercepat lelah karena tidak ergonomis

3)      Pandangan mata terhadap komputer tidak ergonomis dapat menyebabkan kelelahan pada mata dan paparan radiasi.

Pembahasan dan Solusi

Dari segi otot, posisi duduk yang paling baik adalah sedikit membungkuk, sedangkan dari aspek tulang, terbaik adalah duduk yang tegak, agar punggung tidak bungkuk dan otot perut tidak berada pada keadaan yang lemas. Sebagai jalan keluar, dianjurkan agar digunakan posisi duduk yang tegak dengan diselingi istirahat dalam bentuk sedikit membungkuk.

Pandangan mata yang baik untuk pekerjaan duduk 32-44 derajat ke bawah. Untuk mengatasi posisi kerja dengan komputer dapat dilakukan menyetelan tempat duduk. Upaya primer dalam upaya ergonomic yaitu:

  1. disain stasiun kerja, stasiun kerja yang baik akan mengurangi gerakan yang tidak perlu (membungkuk, memutar, dan menjangkau).
  1. alat dan perkakas kerja yang ergonomis,
  2. organisasi kerja dengan cara menyesuaikan ukuran tubuh, kekuatan, dan toleransi jaringan  terhadap ukuran peralatan kerja dan beban kerja.

Tempat duduk yang baik memiliki ketentuan tinggi dataran tempat duduk dengan kaki pijakan sesuai dengan tinggi lutut, tinggi papan sandaran, lebar alas duduk tidak kurang dari lebar terbesar ukuran antropometris pinggul, tinggi meja disesuaikan dengan posisi siku dan pandangan mata.

 

Referensi:

Suma’mur, 2009, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes)